HUKUM KURBAN ONLINE


Perkembangan teknologi telah memberi dampak positif untuk memudahkan umat Islam beribadah, salah satunya dalam hal kurban. Saat ini banyak ditemui layanan jasa kurban secara online. Cukup dengan mentransfer sejumlah uang sesuai harga hewan yang dikehendaki dan mengisi daftar nama orang yang hendak dikurbani.

Menurut para ulama, praktek demikian dapat dibenarkan. Sayyid Abi Bakr Syato ad-Dimyati menjelaskan dalam kitab I’anah at-Thalibin:

وَأَمَّا نَقْلُ دَرَاهِمَ مِنْ بَلَدٍ إِلَى بَلَدٍ أُخْرٰى لِيَشْتَرِيَ بِهَا أُضْحِيَّةً فِيْهَا فَهُوَ جَائِزٌ

“Adapun mentransfer sejumlah uang dirham dari suatu daerah agar dibelikan hewan untuk berkurban di daerah lain maka hal tersebut diperbolehkan.” (I’anah at-Thalibin, II/380)

Dalam fikih, praktek tersebut dikategorikan akad wakalah (perwakilan). Dengan artian, orang yang berkurban telah mewakilkan kepada pihak penerima jasa segala urusan yang berkaitan dengan kurban, mulai dari pembelian hewan, penyembelihan, pendistribusian daging dan lain sebagainya. Syekh Sulaiman al-Kurdi menegaskan sebuah fatwa yang dikutip Sayyid Abi Bakr Syato ad-Dimyati dalam kitab I’anah at-Thalibin:

وَيَجُوْزُ التَّوْكِيْلُ فِي شِرَاءِ الْأُضْحِيَّةِ وَالْعَقِيْقَةِ وَفِي ذَبْحِهَا وَلَوْ بِبَلَدٍ غَيْرِ بَلَدِ الْمُضَحِّي وَالْعَاقِّ

“Dan boleh mewakilkan seseorang untuk membeli hewan kurban dan hewan aqiqah serta menyembelihnya meskipun itu dilakukan di luar daerah orang yang kurban atau akikah.” (I’anah at-Thalibin, II/381)

Perihal niat, orang yang berkurban (pemesan) dapat niat berkurban saat mentransfer uangnya atau dapat juga mewakilkan urusan niat sekaligus kepada pihak penerima jasa kurban sebagai wakilnya. Imam Jalaluddin al-Mahalli menerangkan dalam kitabnya, Kanz ar-Raghibin:

وَإِنْ وَكَّلَ بِالذَّبْحِ نَوَى عِنْدَ إعْطَاءِ الْوَكِيلِ…. وَلَهُ تَفْوِيضُهَا إلَيْهِ أَيْضًا

“Apabila seseorang mewakilkan penyembelihan, maka ia harus niat berkurban saat memberikannya kepada wakil…. Atau boleh sekaligus memasrahkan niat kepada wakil.” (Hasyiyah al-Qulyubi, IV/254) []waAllahu a’lam


HEWAN KORBAN APA WAJIB JANTAN

Mana Lebih Baik, Berkurban dengan Hewan Jantan atau Betina?

Saat membeli hewan kurban, kita diharuskan untuk memilih dan memastikan sendiri bahwa hewan yang akan kita jadikan sebagai hewan kurban tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai hewan kurban, baik sapi, kambing, maupun unta (jika ada). Namun beberapa orang terkadang bingung untuk memilih jenis kelamin hewan yang akan dijadikan kurban, baik jantan maupun betina. Terlebih, semua orang pasti menginginkan untuk melaksanakan keutamaan beribadah kurban.

Lalu bagaimana dengan jenis kelamin hewan yang akan dijadikan sebagai hewan kurban, mana yang lebih baik, jantan atau betina? Secara eksplisit tidak dijelaskan dalam suatu nash, baik Al-Qur’an maupun hadits terkait pilihan dan keutamaan jenis kelamin tertentu untuk hewan kurban. Namun para ulama mengqiyaskan kasus jenis kelamin hewan kurban ini dengan hewan untuk aqiqah. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmū’ Syarḥ al-Muhadzzab juga pernah menjelaskan terkait hal ini. Menurut An-Nawawi, jenis kelamin hewan kurban ini dianalogikan dengan hadits yang menjelaskan kebolehan untuk memilih jenis kelamin jantan maupun betina untuk aqiqah.

ويجوز فيها الذكر والانثى لما روت أم كرز عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: على الغلام شاتان وعلى الجارية
شاة لا يضركم ذكرانا كن أو أناثا 

Artinya: “Dan diperbolehkan dalam berkurban dengan hewan jantan maupun betina. Sebagaimana mengacu pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Kuraz dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau pernah bersabda “(aqiqah) untuk anak laki-laki adalah dua kambing dan untuk perempuan satu kambing.

Baik berjenis kelamin jantan atau betina, tidak masalah.” (Lihat: An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut: Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392) Menurut An-Nawawi, jika jenis kelamin jantan maupun betina dalam hal aqiqah saja tidak dipermasalahkan maka dalam konteks kurban juga sama. Tidak ada masalah.

وإذا جاز ذلك في العقيقة بهذا الخبر دل على جوازه في الاضحية ولان لحم الذكر أطيب ولحم الانثى أرطب

Artinya: “Jika dalam hal aqiqah saja diperbolehkan dengan landasan hadits tersebut, maka hal ini menunjukkan kebolehan untuk menggunakan hewan berjenis kelamin jantan maupun betina dalam kurban.

Karena daging jantan lebih enak dari daging betina, dan daging betina lebih lembab.” (Lihat: An-Nawawi, al-Majmū’ Syarḥ Muhazzab, Beirut, Dār al-Fikr, tt., j. 8, h. 392) Oleh karena itu, tidak ada keutamaan dalam memilih jenis kelamin untuk hewan kurban, baik jantan maupun betina, tidak ada yang lebih diutamakan.

Karena yang paling penting adalah kesesuaian hewan-hewan yang akan digunakan untuk kurban dengan syarat-syarat sahnya hewan kurban. Wallahu a’lam.



Syarat Hewan Kurban yg wajib di penuhi.



Dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa ada tiga jenis hewan yang bisa dijadikan kurban, yaitu unta, sapi dan kambing. Masing-masing dari ketiga jenis hewan tersebut memiliki ketentuan masing-masing yang telah ditetapkan oleh syariat.

Khusus untuk jenis hewan kambing, maka ada ketentuan yang harus dipatuhi agar kurban yang dilakukan sah menurut syariat.

Pertama, hewan kambing hanya boleh dijadikan kurban untuk satu orang saja. Ibnu Hajar Alhaitami menyebutkan dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, ulama telah sepakat bahwa satu kambing hanya bisa digunakan kurban untuk satu orang, tidak boleh lebih.

تُجْزِئُ ( الشَّاةُ ) الضَّائِنَةُ وَالْمَاعِزَةُ ( عَنْ وَاحِدٍ ) فَقَطْ اتِّفَاقًا لَا عَنْ أَكْثَرَ

“(Seekor kambing) baik domba maupun kambing kacang itu memadai untuk kurban (satu orang) saja berdasarkan kesepakatan ulama, tidak untuk lebih satu orang.”

Juga ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab Almajmu, bahwa satu kambing hanya untuk kurban satu orang dan tidak cukup digunakan untuk lebih dari satu orang.

تجزئ الشاة عن واحد ولا تجزئ عن أكثر من واحد

“Seekor kambing kurban memadai untuk satu orang, dan tidak memadai untuk lebih dari satu orang.”

Kedua, kambing jenis domba sudah berusia 1 tahun, atau minimal berumur 6 bulan bagi yang sulit mendapatkan domba yang berumur 1 tahun. Sedangkan bagi kambing biasa, maka minimal berumur 1 tahun dan telah masuk tahun ke 2.

Ketiga, bebas dari cacat dan aib yang mengurangi kualitas hewan kambing. Ada empat cacat dan aib yang tidak membolehkan hewan kambing dijadikan kurban, yaitu;

1) ‘Aura’ atau buta sebelah yang tampak terlihat jelas,
2) ‘Arja’ atau pincang yang tampak terlihat jelas,
3) Maridhah atau sakit yang tampak terlihat jelas,
4) ‘Ajfa’ atau kurus hingga kering yang membuat sumsum hilang.

Keempat, kambing yang dijadikan kurban tersebut harus disembelih setelah selesai salat Idul Adha hingga matahari terbenam pada hari terakhir hari tasyriq. Jika kambing tersebut disembelih selain waktu tersebut, maka hukumnya tidak sah.

Allohu a'lam..




HIKMAH KURBAN DARI BEBERAPA ASPEK KEHIDUPAN


Hikmah Kurban dari Beberapa Aspek Kehidupan

Ibadah kurban memiliki beberapa hikmah dan pesan moral yang ada di dalamnya. Dalam konteks ini, hikmah kurban terbagi ke dalam tiga aspek, yakni sejarah, spiritual, dan sosial.

Pertama, aspek sejarah

Syariat ibadah kurban mengingatkan kembali kepada umat Islam akan peristiwa agung Nabi Ibrahim AS. dan putranya, Nabi Ismail AS. Lewat sebuah mimpi, Nabi Ibrahim mendapat perintah dari Allah SWT. untuk menyembelih putranya, sebagai tebusan dari nazar yang pernah beliau ucapkan.

Rekam sejarah tersebut mempunyai hikmah dan uswah (suri tauladan) bagi umat Islam. Bagaimana bentuk kepatuhan dan kesetiaan seorang hamba terhadap Tuhannya. Karena kalau bukan didasari atas keimanan dan kesetiaan, sulit rasanya membayangkan Nabi Ibrahim AS. rela memenuhi perintah untuk menyembelih putra yang telah lama diidam-idamkannya.

Di samping itu, dalam peristiwa sejarah tersebut terdapat sebuah praktek demokrasi dalam pengambilan keputusan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Ibrahim AS. Sebelum menjalankan perintah Allah SWT., Nabi Ibrahim AS. terlebih dahulu mengajak dialog dan memberikan kesempatan pada Nabi Ismail AS. untuk memikirkannya secara matang atas perintah tersebut. Kendati sebenarnya Nabi Ibrahim as. mempunyai otoritas mutlak dalam mengambil keputusan, namun ia memilih melakukan pendekatan dialogis dan persuasif agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.

Kedua, aspek spiritual

Tak dapat dipungkiri, Ibadah kurban adalah ibadah yang dianjurkan dalam syariat Islam sebagaimana yang telah tercantum di dalam Alquran dan hadis. Karena sejatinya, setiap umat islam yang melaksanakan ibadah kurban tidak memiliki tujuan apapun kecuali menjadikan ibadah tersebut sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. serta mengharapkan rida dan ampunanNya. Selain itu, ibadah kurban memiliki hikmah spiritual dalam pembiasaan diri untuk bersikap ikhlas dalam melaksanakan amal ibadah.

Untuk itu, tidak heran betapa besar pahala dan balasan yang telah Allah SWT. janjikan bagi mereka yang melaksanakan ibadah kurban. Salah satunya sebagaimana yang telah dijelaskan Rasulullah SAW. dalam hadis:

مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ مِنْ عَمَلٍ يَوْمَ النَّحْرِ أَحَبَّ إِلَى اللهِ مِنْ إِهْرَاقِ الدَّمِ، إِنَّهُ لَيَأْتِي يَوْمَ القِيَامَةِ بِقُرُونِهَا وَأَشْعَارِهَا وَأَظْلاَفِهَا، وَأَنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ مِنَ الأَرْضِ

“Tiada amal ibadah manusia pada hari Nahr (hari menyembelih kurban) yang lebih disenangi oleh Allah SWT. kecuali mengalirkan darah (menyembelih binatang kurban). Sesungguhnya hewan kurban datang pada hari kiamat dengan tanduknya, bulunya, dan kuku kakinya. Dan sesungguhnya darah binatang kurban akan jatuh (ke dalam tempat diterimanya amal) oleh Allah sebelum darah tersebut jatuh ke bumi.” (HR. At-Turmudzi)

Ketiga, aspek sosial.

Dalam fikih, ibadah kurban tergolong ibadah Ghoiru Mahdhoh. Dengan artian bahwa ibadah tersebut tidak hanya menitikberatkan pada hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, melainkan juga mempertimbangkan hubungan antara hamba tersebut dengan masyarakat di sekitarnya. Selain memberi manfaat sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah SWT., ibadah kurban juga memberi manfaat pada sesama umat Islam terutama terhadap golongan fakir miskin dan kaum yang lemah (dhuafa’).

Melihat hal tersebut, tidak terasa aneh bahwa dalam kajian fikih mengenai pendistribusian daging kurban dirumuskan dalam beberapa pemilahan. Pemilahan tersebut mencakup pendistribusian bagi orang-orang yang termasuk kategori kaya hanya sebatas ith’am (legalitas konsumsi). Namun untuk golongan fakir miskin lebih leluasa baik dalam hal menjual atau mengkonsumsi ataupun yang lainnya, karna pemberian pada kelompok ini berstatus tamlik (pemberian hak milik).

Akhir kata, ibadah kurban sebagai salah satu syiar agama Islam merupakan ibadah yang mengajarkan umat untuk senantiasa mendekatkan diri pada Allah SWT. seraya mengikuti jejak historis Nabi Ibrahim AS. dan nabi Ismail AS. yang menjadi lambang ketaatan dan kesetiaan seorang hamba pada perintah Tuhannya serta ibadah yang mampu menarik kekuatan hubungan sosial dengan umat islam yang lain. Dengan mengetahui beberapa aspek tersebut, diharapkan umat islam semakin tekun dan bersemangat dalam menjalankan perintah anjuran berkurban dan mampu menerapkan dan mengamalkan substansi dan tujuannya dalam kehidupan sehari-hari. []wAllahu a’lam

Referensi:

Ali ash-Shobuni, Mukhtasar Tafsir Ayat al-Ahkam, (Kediri: Dar al-Mubtadiin, tt.) hlm. 187.
Syuhabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah Al-Qulyubi (Surabaya: Al-Haramain, tt.) IV/251.
Zakaria al-Anshari, Fath al-Wahhab, II/189, CD. Maktabah Syamilah.
Al-Mawardi, Al-Hawi al-Kabir, IV/186, CD. Maktabah Syamilah.
Utsman al-Khaubawy, Dzurroh an-Nashihin, hlm.136.



FIQIH TALAK.


Sebagaimana diketahui, talak bukanlah pemutus sekaligus ikatan perkawinan. Sejak talak dijatuhkan hingga tali perkawinan benar-benar terputus masih ada satu masa yang disebut “masa iddah”, yaitu masa tunggu bagi si istri untuk mengetahui kekosongan rahimnya, sekaligus masa di mana mantan pasutri bisa berpikir ulang dan rujuk kembali. Pada masa itu juga masih ada sejumlah hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak, baik suami maupun istri. 


Apa saja hak dan kewajiban tersebut? Syekh Abu Syuja dalam al-Ghâyah wa al-Taqrîb telah mengemukakannya kepada kita.

ويجب للمعتدة الرجعية السكني والنفقة ويجب للبائن السكني دون النفقة إلا أن تكون حاملا ويجب على المتوفى عنها زوجها الإحداد وهو الامتناع من الزينة والطيب وعلى المتوفى عنها زوجها
والمبتوتة ملازمة البيت إلا لحاجة

Artinya, “Perempuan yang beriddah dari talak raj‘i (bisa dirujuk) wajib diberi tempat tinggal dan nafkah. Sedangkan perempuan yang ditalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tanpa nafkah kecuali ia sedang hamil.

Kemudian perempuan yang ditinggal wafat suaminya wajib ber-ihdad, dalam arti tidak berdandan dan tidak menggunakan wewangian. Selain itu, perempuan yang ditinggal wafat suaminya dan putus dari pernikahan wajib menetap di rumah kecuali karena kebutuhan,” (Syekh Abu Syuja, al-Ghâyah wa al-Taqrîb, terbitan Alam al-Kutub, hal. 35). 

Dengan memperhatikan petikan matan di atas dan juga penjelasannya dari Syekh Muhammad ibn Qasim dalam kitab Fathul Qarib (terbitan Pustaka al-‘Alawiyyah, Semarang, t.t, hal. 50) dan Hasyiyah al-Bajuri, (terbitan Maktabah al-‘Ulumiyyah, Semarang, t.t, jilid 2, hal. 174) dapat disampaikan beberapa kesimpulan tentang hak dan kewajiban perempuan beriddah,
yakni sebagai berikut


1. Perempuan yang sedang beriddah dari talak raj‘i berhak mendapat tempat tinggal yang layak, nafkah, pakaian, dan biaya hidup lainnya dari mantan suami, kecuali jika ia nusyuz (durhaka) sebelum diceraikan atau di tengah-tengah masa iddahnya.  Hal itu berdasarkan firman Allah, Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.  Dan juga sabda Rasulullah saw., “Perempuan beriddah yang bisa dirujuk oleh (mantan) suaminya berhak mendapat kediaman dan nafkah darinya.”

2. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in, baik karena khulu‘, talak tiga, atau karena fasakh, dan tidak dalam keadaan hamil, berhak mendapat tempat tinggal saja tanpa mendapat nafkah kecuali jika ia durhaka sebelum ditalaknya atau di tengah masa iddahnya. 

3. Perempuan yang sedang beriddah dari talak ba’in dan keadaan hamil juga berhak mendapat tempat tinggal dan nafkah saja. Tidak berhak atas biaya lainnya. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat, apakah nafkah itu gugur karena nusyuz atau tidak. 

4. Perempuan yang sedang beriddah karena ditinggal wafat suaminya tidak berhak mendapat nafkah walaupun dalam keadaan hamil. 

5. Perempuan yang ditinggal wafat suaminya berkewajiban untuk ihdad, yakni tidak bersolek dan tidak berdandan, seperti mengenakan pakaian bewarna mencolok semisal kuning atau merah yang dimaksudkan untuk berdandan. Juga tidak diperkenankan mengenakan wewangian, baik pada badan atau pakaian.  

6. Perempuan yang ditinggal wafat suami dan juga perempuan yang telah putus dari pernikahan, baik karena talak bain sughra, talak bain kubra, atau karena fasakh, berkewajiban untuk selalu berada di rumah. Tidak ada hak bagi suaminya ataupun yang lain untuk mengeluarkannya. Selain itu, ia juga tidak boleh keluar dari rumah itu walaupun diridai oleh mantan suaminya kecuali karena ada kebutuhan. Adapun kebutuhan keluar rumahnya di siang hari seperti untuk bekerja dan belanja kebutuhan. Bahkan untuk kebutuhan mendesak, pada malam hari pun ia boleh keluar, dengan catatan ia kembali pulang dan bermalam di rumah tersebut kecuali memang ada ketakutan yang menimpa diri, anak-anak, dan hartanya.   

7. Perempuan yang tengah menjalani iddah dari talak raj‘i tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki lain atau menerima lamaran baru walaupun berupa sindiran, sebagaimana dalam ayat, Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya, (Q.S. al-Baqarah [2]; 235). 

8. Perempuan yang sedang menjalani iddah karena ditinggal wafat atau ditalak ba’in suaminya tidak boleh menerima lamaran terang-terangan, tetapi boleh menerima lamaran berupa sindiran atau penawaran, sebagaimana firman Allah, Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf, (Q.S. al-Baqarah [2]: 235).  Demikian hak dan kewajiban perempuan dalam masa iddah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam



Ke Utamaan Puasa Tarwiyah dan Arofah



*NIAT PUASA IDHUL ADHA*

*Hari Rabu,29 Juli 2020*
Do'a Niat Puasa Tarwiyah

ﻧﻮﻳﺖ ﺻﻮﻡ ﺗﺮﻭﻳﻪ ﺳﻨﺔ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ

NAWAITU SAUMA TARWIYAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
“ Saya niat puasa Tarwiyah, sunnah karena Allah ta’ala.”

*Hari Kamis, 30 Juli 2020*
Do'a Niat Puasa Arafah
ﻧﻮﻳﺖ ﺻﻮﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﺳﻨﺔ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ.                          
NAWAITU SAUMA ARAFAH SUNNATAN LILLAHI TA’ALAH
“ Saya niat puasa Arofah , sunnah karena Allah ta’ala.”